Absolutisme Berfikir
Violent extremism atau ekstrimisme berwujud kekerasan merupakan sebuah pemikiran ekstrim berkarakter ideologis yang umumnya diungkapkan secara berkelompok, mendukung ide-ide kekerasan bersenjata untuk mewujudkan sebuah tujuan. Dibandingkan menggunakan istilah terorisme, violent extremism menjadi sebuah terminologi baru yang melihat adanya sebuah perilaku budaya ekstrim dalam mewujudkan setiap kehendaknya. Karakter ideologis mewarnai setiap pola pikirnya, dan hal ini menjadi sebuah ciri khas yang membedakannya dengan kekerasan lain pada umumnya. Makna ini tampaknya jauh lebih luas dibandingkan istilah terorisme, yang berkesan pada perbuatan kekerasan bersenjata semata.
Violent extremism meliputi ragam perbuatan kekerasan bersenjata baik yang mengatasnamakan religiusitas agama, politik, ideologi hingga tujuan ekonomi dan separatisme. Segala perbuatan yang menggunakan metode kekerasan masuk dalam kategori violentextremism ini. Penggunaan kata violent extremism ini telah digunakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations) guna menjelaskan perilaku destruktif yang secara nyata telah sangat merugikan nilai-nilai kemanusiaan.
Penggunaan kata “ekstrimisme” juga lebih mampu mewakili perilaku mereka dibandingkan penggunaan kata “radikal”. Radikal bermakna berfikir mendalam hingga menyentuh dasar dan akar pemikiran, dan kata ini telah digunakan oleh para filosof yang mengajak manusia untuk berfikir secara mendalam hingga mencapai dasar pemikiran. Para filosof, sejak era Socrates, Plato, hingga Al Ghazali, Suhrawardi al Maqtul, dan Ibn Arabi di masa lalu mengajarkan manusia untuk berfikir secara radikal (mendalam hingga ke dasar) guna memberikan jawaban yang dapat memuaskan semua orang atas beragam pertanyaan tentang eksistensi manusia di tengah alam semesta baik secara ontologi, epistemologi hingga aksiologinya.
Para pelaku ekstrimisme ini lebih menunjukkan bentuk perilaku-perilaku ekstrim yang tak didahului oleh sebuah pemikiran mendalam, dan tentunya jika mereka berfikir mendalam tidak akan menghasilkan sebuah produk perilaku yang merusak tatanan nilai kemanusiaan. Perilaku ekstrim atau perilaku yang berlebihan dalam memandang sebuah objek, dan mewujudkannya dalam sebuah sikap yang destruktif.
Violent extremism menjadi sebuah hal yang menarik untuk coba dibincangkan. Salah satunya adalah munculnya gagasan pemikiran absolut atas kebenaran tunggal, mengabaikan pihak lain yang juga memiliki pendapat berbeda. Gagasan kebenaran tunggal dalam berpendapat ini menjadi sangat berbahaya ketika wujud atau luapan pendapat tersebut diwujudkan secara destruktif. Hasil pemikirannya pun lebih berkarakter ideologis dan bukan filosofis, dibandingkan dengan metode filosofis yang berciri pada proses dialog terbuka (memberi dan menerima) maka pemikiran ideologis sangat tertutup dan menolak ragam dialog dan perdebatan.
Kebenaran berfikir absolut dengan karakter ideologis dan destruktif ini cukup mengkhawatirkan. Berfikir adalah ciri manusia, tetapi ketika ia lupa bahwa berfikir itu berada dalam ruang relatif dan ketika ia diwujudkan dan dihadirkan secara merusak, membunuh, memusnahkan dan menghancurkan, maka ia kehilangan karakter manusia yang berfikir. Eksklusivisme sempit dalam berfikir dan menuhankan pendapatnya sendiri ini yang berpotensi menimbulkan violent extremism.
Ruang ide hakikatnya adalah ruang kebebasan untuk menuangkan segala gagasan juga sekaligus ruang untuk menerima beragam pendapat yang berbeda ke dalam dirinya. Bahwa dalam berfikir terdapat beragam sudut pandang yang saling memberi dan menerima, sehingga mampu memperkaya sudut pandang berfikir.
Tindakan ekstrimisme merupakan perilaku berfikir yang menuhankan kebenaran dirinya, tanpa mampu untuk menerima keragaman berfikir yang penuh warna. Bahwa keragaman berfikir adalah kehendak Illahiah, bahwa Allah juga memberikan ruang berfikir untuk manusia. Bahwa manusia diberikan kemampuan berfikir sebagai makhluk ulil albab (Qs.[39]:17).
Manusia yang berfikir adalah kehendakNya. Manusia yang berfikir secara mendalam, dan juga meluaskan wawasan berfikir menunjukkan kembali bahwa manusia bukan Tuhan. Manusia adalah tetap makhluk yang terus berubah dan berkembang secara dinamis juga konstruktif. Disinilah relativitas akal bekerja dalam diri manusia. Jika ia menyatakan bahwa kebenaran yang diproduksinya adalah pasti benar, maka ia juga menyatakan sekaligus bukan manusia karena manusia berpotensi berbeda dalam berfikir, dan berpotensi memiliki kesalahan dalam memproduksi kebenaran.
Keragaman berfikir menuntut keterbukaan dalam menerima ragam wacana. Berbincang untuk mencari titik temu, mencoba membangun dialog sebagai manusia yang berakal dan beradab. Setiap tesa akan menghadirkan anti tesa, dan dari keduanya akan muncul sintesa. Sebuah hal yang wajar dalam proses berfikir manusia, dan disinilah wujud dinamika akal tumbuh dan berkembang.
Patut dimulai sejak dini untuk mampu menerima beragam pemikiran yang berbeda. Bahwa banyak manusia yang berfikir berbeda untuk memahami sesuatu hal tertentu. Perbedaan pola ragam dan metode berfikir bukanlah untuk membelah dan memecah sebuah rasa persaudaran. Perbedaan adalah kewajaran untuk semakin memahami ragam ciptaan Allah.
Rekonstruksi atas Ego Kekerasan
Kekerasan menjadi sebuah jalan untuk menunjukkan kebenaran akal fikir yang absolut oleh sekelompok manusia. Destruktivisme menjadi jalan menunjukkan sebuah ego, bahwa kebenaran hanyalah miliknya. Klaim kebenaran menjadi hak mutlak oleh sekelompok manusia tertentu. Kekerasan ditunjukkan untuk menguatkan dominasi atas beragam kelompok sosial lainnya.
Destruktivisme dan kekerasan menjadi sarana untuk menundukkan siapapun ke dalam kekuasaannya. Ia hendak menunjukkan sebuah proses penundukan sebagian besar manusia. Pada konteks ini perilaku merusak, intimidasi, hingga teror dapat diwujudkan untuk menumbulkan ketakutan massif juga massal. Sekelompok manusia dalam jumlah besar yang berada dalam suasana yang menakutkan agar lebih memudahkan melaksanakan kehendak para pelaku kekerasan.
Kehancuran nilai-nilai kemanusiaan tidak lagi menghiraukan eksistensi kehidupan, bahwa hidup manusia dan segenap makhluk ciptaan Allah lainnya harus dilindungi. Manusia dan makhluk Allah memiliki hak untuk hidup dan menjalankan beragam aktivitasnya, bukan untuk ditundukkan, dieksploitasi melalui beragam perilaku ekstrimisme. Kehancuran manusia bukan kehendak Allah dan bukan pula kehendak manusia yang berakal budi.
Kekerasan atas dasar pemikiran absolut sudah sewajarnya ditinggalkan untuk mewujudkan himpunan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban. Setiap manusia harus mampu berdialog secara konstruktif, memberi sekaligus menerima setiap input yang datang. Bahwa setiap perbedaan bukanlah musuh yang harus dihadapi untuk ditundukkan, ia hadir untuk didialogkan dan didiskusikan dengan pemikiran yang terbuka.Kekerasan dan kehancuran tidak akan mampu menyelesaikan beragam masalah. Bahwa destruktivisme hanya akan menghadirkan penderitaan bagi jiwa manusia tak berdosa. Setiap masalah dapat didialogkan melalui pemikiran yang terbuka tanpa memaksakan kehendak setiap kelompok. Kekerasan bukan jalan untuk menyelesaikan masalah, karena manusia memiliki ragam metode untuk menyelesaikan masalahnya secara damai.
Kekerasan telah menyeruak di berbagai tempat di Indonesia sejak awal abad 21. Kekerasan dan kehancuran yang diakibatkan oleh terjadinya bom Bali, Poso, hingga Marawi di Philipina adalah bentuk dari sebuah pemahaman ekstrim yang berujung pada perbuatan penghancuran peradaban manusia. Salah satu hal yang menarik untuk diamati adalah rendahnya pendidikan para pelaku violent extremism yang berperan membentuk sebuah pemahaman ekstrim ini. Banyak dari pelaku yang hanya mengenyam pendidikan setingkat sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama yang terlibat dalam berbagai aksi ekstrimisme ini.
Agama acapkali menjadi korban dalam perilaku dan tindakan ekstrimisme ini. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan perilaku ekstrim dan destruktif bagi sesama manusia. Agama bukan induk ekstrimisme, karena ekstrimisme justeru tak memiliki akar pada ajaran agama. Agama menjadi sarana yang paling strategis untuk dibajak oleh pelaku ekstrimisme mengingat agama juga memiliki sisi karakter ideologis selain rasionalisme. Karakter ideologis agama diambil untuk meningkatkan daya agitasi oleh para pelaku ekstrimisme ini.
Tindakan yang diambil berupa kekerasan menunjukkan konsep berfikir yang merusak gagasan dan tatanan kemanusiaan. Para pelaku perlu memahami bahwa kesadaran menjadi manusia dengan rekonstruksi berfikir yang relatif adalah bukti peran manusia sebagai makhluk Tuhan. Proses dehumanisasi, destruktif dan absolut bukan karakter manusia yang humanis. Manusia menjadi utuh juga karena sifat-sifat humanismenya, bahwa memanusiakan manusia lainnya secara adil adalah wujud keadaban sebagai makhluk Tuhan.
Melawan sebuah perilaku ekstrim yang berwujud kekerasan ini tidak cukup dengan senjata, tetapi juga dengan menghadirkan pemikiran. Agama acapkali digunakan sebagai sarana untuk membangun narasi-narasi destruktif. Melawannya adalah dengan membangun narasi konstruktif, yaitu menghadirkan narasi yang membangun semangat untuk memanusiakan manusia. Kesadaran akan perlunya membangun kontra narasi yang menghadirkan kedamaian dan kesejukan dalam relasi kemanusiaan dipupuk ditumbuhsuburkan pada beragam kalangan, khususnya generasi muda.
Selain membangun pengertian melalui ragam wacana fikir dan pendidikan, pendekatan kultural juga dapat menjadi sebuah cara untuk melunakkan ego kaum ekstrim ini. Pendekatan pemahaman nilai kultural baik melalui seni, narasi budaya dan religi juga akan mampu berkontribusi dalam menekan konsep berfikir yang ekstrim. Wacana dekonstruksi tentunya dilawan dengan merekonstruksi pemahaman atas eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang telah hilang di dalam cara berfikir kaum ekstrim ini.
“Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS al-Maidah [5]: 33).
Penulis adalah Dosen Tetap Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dosen tidak tetap pada STKIP Arrahmaniyah. Peneliti Islamadina Institute dan FORNIKA.