Ticker

6/recent/ticker-posts

Covid-19 dan Tatanan Budaya Baru|Dr Fokky Fuad


Kepemilikan Tubuh dalam Ragam Budaya

Manusia adalah subjek yang berkehendak, ia adalah manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya. Tubuh adalah bentuk struktur fisik, yang dengannya ia memiliki kepemilikan atasnya secara penuh. Bahwa tubuhnya sepenuhnya adalah miliknya, dengannya ia bebas mengatur, mengendalikan juga memgarahkan kemana tubuhnya ia gunakan. Tubuh bukanlah sekedar susunan daging dan tulang, ia menjadi simbol budaya, religi hingga eksploitasi kapitalisme.

Akal mengendalikan tubuh, yang dengannya manusia berfikir bahwa penguasaan tubuh bersifat mutlak yang tunduk pada kekuasaan akal. Manusia mengendalikan secara penuh dan bebas atas tubuhnya. Kebebasan pengendalian mutlak atas tubuh tidak bisa ditahan oleh sistem norma, bahkan sebaliknya dan sejatinya norma justeru harus melindungi manusia untuk secara bebas mengendalikan tubuhnya.

Sebuah perilaku seks bebas atau pilihan untuk aborsi atau tidak adalah kehendak mutlak sang pemilik tubuh. Kebebasan mutlak mengendalikan tubuh adalah bentuk kebebasan mutlak akal untuk menentukan pilihannya. Gagasan liberalisasi makna tubuh bergulir untuk menyatakan sebuah kebebasan atas penggunaan tubuh secara absolut. Pada sisi lain akal juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural, dan kondisi ini secara langsung atau tidak ikut menentukan bagaimana manusia membangun persepsi terhadap tubuhnya.

Dalam persepsi budaya, tubuh dibentuk oleh sebuah konsep lingkungan budaya. Bentuk pemahaman atas budaya menentukan bagaimana ia memperlakukan tubuhnya. Pada pemahaman budaya yang sangat dipengaruhi oleh religi yang kuat, maka tubuh akan diperlakukan sebagaimana pemahaman religi dan budaya yang melingkupinya. Tubuh manusia yang teridentifikasi atas susunan-susunan dianggap sebagai sebuah kesatuan nilai budaya, dikendalikan, diarahkan serta dipergunakan sebagaimana budaya menghendakinya.

Menutup seluruh tubuh dengan kain penutup, atau membuka tubuh dengan telanjang bahkan menulis huruf dan menggambar tubuh dengan tattoo pada hakikatnya adalah bentuk bagaimana akal mempersepsi dunia yang ada di sekelilingnya. Respon akal untuk menggambarkan dunianya diletakkan dalam tubuhnya, yang dengannya manusia dapat membaca sebuah sudut dan optik berfikir si pemilik tubuh terhadap dunianya.

Tubuh ternyata ternyata tidak pernah bebas dari ikatan kulturalnya. Tubuh mengikuti gerak perubahan norma budaya yang melingkupinya. Kebebasan atas kesadaran untuk memiliki tubuh sepenuhnya begitu sulit terjadi. Tubuh bukan milik si pemilik tubuh, karena tubuh manusia adalah milik budayanya. Ketika seseorang ingin memiliki tubuh yang langsing, tinggi semampai, dengan bentuk rambut terurai sesungguhnya si pemilik tubuh telah ditentukan oleh sebuah kekuatan budaya. Bahwa lingkungan budaya yang ada menentukan pilihan tindakan si pemilik terhadap tubuhnya. Ketika ia memiliki tubuh yang gemuk, dan pendek maka lingkungan budayanya telah menolak “eksistensi” dirinya di dalam lingkungan sosio-kultural yang menganggap tubuh manusia yang tinggi dan langsing lebih layak diterima. Kini kita kembali bertanya secara mendalam; siapakah sesungguhnya pemilik atas tubuh kita ini?

Sistem budaya kapitalisme ikut merenggut tubuh dari sang pemilik tubuh. Tubuh dikuasai dan dikendalikan secara penuh oleh sebuah sistem industri kapitalisme yang kukuh. Hadirnya ragam budaya kosmopolitan yang menguasai tubuh menjadikan sang pemilik tubuh tidak pernah bebas menentukan tubuhnya. Bahwa beragam produk kesehatan, kecantikan, alat olahraga, kebugaran tubuh yang dihasilkan oleh sebuah industri pasar bebas ikut merebut kepemilikan tubuh dari pemiliknya. Manusia tidak pernah benar-benar bebas memiliki tubuhnya.


Covid-19 dan Pengambilalihan Fungsi Tubuh

Tubuhmu bukan milikmu, ia adalah milik budayamu, milik pasar industri, dan kini ia hendak direbut oleh sang virus Covid-19. Jasad renik yang begitu kecil, bahkan tak sanggup dilihat oleh mata telanjang kini juga ikut merebut tubuh manusia. Kebebasan untuk memiliki tubuh dan menggunakan sepenuhnya tubuh tidak pernah terjadi dalam peradaban manusia. Covid-19 mencoba untuk merebut kebebasan manusia sejak akhir tahun 2019, dan ia menyadarkan kembali bahwa kepemilikan tubuh bukanlah ruang bebas.

Pertarungan kepemilikan tubuh antara sistem budaya, ekonomi kapitalisme, hingga virus menjadi sebuah ajang bebas dalam dunia manusia. Hingga saat tulisan ini dibuat tampaknya virus Covid-19 masih unggul dalam merebut tubuh dalam pertarungan melawan sistem ekonomi kapitalis dan budaya. Bahkan industri kapitalisme dunia kini nyaris ambruk dengan hadirnya makhluk renik ini(betapa banyak mall, hotel, tempat hiburan dll tutup dan phk karyawan?). Budaya terpaksa membentuk ulang susunan norma manusia dalam bertingkah laku. Ia menciptakan norma baru berupa penjagaan jarak, menutup sebagian wajah dengan masker, mencuci tangan, belajar dan bekerja dari rumah menggunakan sistem teknologi informasi yang kesemua itu selama ini tampaknya bukanlah bagian dari sebuah kebudayaan manusia.

Virus begitu berbeda dengan budaya dan sistem industri kapitalis, ia bukanlah produk akal sebagaimana manusia menciptakan sebuah sistem kerja ekonomi kapitalis. Virus menjadi kehendak Tuhan untuk mengatur dunia milikNya. Bahwa Dia ingin menjelaskan kembali sebuah tatanan struktur kepemilikan atas ruang alam semesta. Virus ini menegaskan sekali lagi bahwa bukan manusialah sebagai pemilik tubuh yang sesungguhnya, manusia hanya menerima tubuh, tetapi tidak memilikinya.

Virus ini mampu bergerak, menundukkan, menguasai, dan mengendalikan sepenuhnya tubuh manusia. Ia mengendalikan tidak saja tubuh tetapi juga perilaku berbudaya manusia dalam tatanan struktur norma yang baru. Negara-negara di dunia membentuk dan menciptakan beragam norma hukum baru untuk mengatur perilaku manusia. Norma hukum baru diberlakukan dengan fungsi mendidik dan mengajarkan banyak hal baru dalam tatanan perilaku budaya manusia sejak hadirnya Covid-19.

Melawan virus tempaknya hanyalah sebuah utopia yang terdapat dalam jargon kalimat yang didengungkan, karena Covid-19 ini telah memenangkan pertempuran atas kepemilikan tubuh dan budaya manusia. Bahwa sebuah jasad renik yang tak kasat mata mampu merubah perilaku jagat budaya umat manusia yang tak pernah terbayangkan dalam kurun abad milenial ini. Manusia dengan tatanan norma dan etika perilaku yang baru ini adalah mengikuti gerak irama yang dikendalikan oleh virus ini. Bahwa segenap eksistensi potensi manusia abad 21 tersita dan terkuras untuk menyesuaikan diri dengan kehadiran Covid-19 yang telah mampu melumpuhkan banyak kehidupan sosial dan ekonomi di belahan penjuru bumi.

Tuhan hendak mengajarkan kita bahwa kepemilikan tubuh manusia berada ditanganNya, bukan budaya kapitalisme yang hal itu juga merupakan produk ketamakan manusia. Bahwa Covid-19 adalah makhluk tak berakal lagi tak berbudaya yang justeru mendapat amanahNya untuk mengingatkan kesadaran manusia bahwa manusia mendapat amanah untuk menggunakan segenap fungsi tubuhnya sesuai dengan konstruksiNya. Bahwa tubuh bukan merupakan sarana mendekonstruksi nilai-nilai kemanusiaan.

Tubuh manusia menjadi sebuah kesatuan fisik, psikologis, juga budaya. Fisik terbentuk dalam balutan tulang dan daging, serta kondisi psikologis yang merasa, juga perilaku yang membentuk benda sebagai kelengkapan bertahan hidup dalam peradabannya. Susunan kesatuan manusia ini membentuk utuh susunan tubuh manusia yang berkehendak, berfikir dan bertindak. Kini manusia perlu berfikir ulang atas nama utopia kebebasan, kehendak mengendalikan dan menggunakan tubuh secara bebas. Bahwa manusia selama ini dikendalikan oleh beragam kehendak, manusia yang telah mengikuti dan memuaskan kehendak nalar kapitalisme kini muncul sang pemilik baru, Covid-19, yang bertugas mengingatkan adanya kepemilikan oleh Sang Maha Pemilik, Allah Sang Pengendali alam semesta.

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Yunus [10]: 107)

Penulis adalah Dosen Tetap Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia. Dosen tidak tetap STKIP Arrahmaniyah. Peneliti dan Co-Founder FORNIKA. Peneliti dan Founder Islamadina Institute.